UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MADIUN

Akreditasi Kampus "Baik Sekali"

ARTIKEL UMMAD

Jalan Tol dan Ancaman Kelaparan: Sebuah Ironi Pembangunan. (Analisa Data dan Fakta)

Bagikan

 

MADIUN – Oleh Muhammad Rifa’at Adiakarti Farid*)

 

Mulai Idul Fitri tahun 2018, pemudik bisa menikmati jalan tol baru di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menariknya, kita juga melihat betapa gambar paradoks berlangsung di depan mata, yang sebagian justru terjadi karena adanya semacam pengabaian keberpihakan terhadap masyarakat kecil.

 

Melihat cepat saja, terlihat betul kita berada di tengah fakta citra ironi ini: Banyak hal yang berada di atas jalan jol nan lempang itu berkumpul segenap indikasi modernitas teknologi Gelombang Ketiga dan Keempat, berhadapan dengan keterpinggiran teknologi Gelombang Kedua mereka yang berada di bawahnya. Di atas kepala berseliweran sangat cepat mereka yang bertransaksi dengan menggunakan e-banking dan e-money ala kartu gesek.

 

Pembuatan jalan tol Jateng dan Jatim tentu tidak murah. Ada public cost di situ. Contoh kasus terlihat terentang dari Jawa Tengah mulai Kartasura, Surakarta, Karanganyar, Sragen, Ngawi, Madiun hingga Nganjuk dan Kertosono di Jawa Timur. Jalan tol itu dibangun umumnya diatas lahan subur milik penduduk yang hidup segan mati sulit dengan pekerjaannya sebagai petani. Usaha pembebasan lahan pun sesungguhnya sudah berlangsung semenjak 2006-2008. Mantan Bupati Sragen 2001-2011, Untung Wiyono saat itu bahkan rela bergerilya tengah malam ke rumah-rumah penduduk untuk membahas pembebasan lahan, yang baru tuntas lama sesudah dia lengser.

 

Angka pasti lahan yang dibebaskan untuk jalan tol itu sulit diperoleh; bahkan dari pemerintah sekalipun angkanya berbeda-beda. Apalagi jika kita hendak melihat berapa luas lahan subur atau tidak subur yang terkonversi menjadi bentangan beton itu. Kita hanya bisa membuat perkiraan dengan berpegang pada data sekunder dan asumsi secara ketat. Contoh ruas kecil tol di atas lahan subur mulai Gerbang Tol (GT) Sragen hingga GT Kebakkramat itu terentang sejauh 35 Km.

 

Lahan subur yang digerus untuk keperluan tol selebar 30-50 meter itu berarti berkisar antara 1.050.000 sampai 1.750.000 meter persegi atau 105-175 hektar. Dihitung dengan angka produktivitas lahan sawah BPS Provinsi Jateng 2016 sebesar 6,4 ton per hektar, berarti untuk Sragen saja setiap musim panen menanggung potensi kehilangan antara 6.720 ton hingga 11.200 ton. Padahal kabupaten ini memiliki empat kali panen tiap tahun, yang berarti angkanya menjadi 26.880 ton hingga 44.800 ton per tahun.

 

Jika ditilik dari keberadaan jalan tol di sepanjang Jawa Tengah, angka-angka tersebut menjelaskan untuk sebagian tentang hilangnya lahan sawah di Jateng, yang berdasar data Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng (Keadaan Tanaman Pangan, 2017) dibanding tahun sebelumnya berkurang sebanyak 11% (tabel halaman 14). Angka ini menguatkan kajian Joko Sutrisno, Sugihardjo dan Umi Barokah dari Universitas Sebelas Maret (2012) tentang alih fungsi lahan di Jawa Tengah yang mencapai 14.830 hektar sawah, dengan kehilangan potensial sebesar 254.000 ton beras per tahun.

 

Itu baru cerita untuk Jateng, padahal Presiden telah meresmikan bentangan jalan beton sepanjang 92 kilometer hingga ke Jawa Timur. Di Jawa bagian selatan lahan baru dibuka bukan untuk alih guna pertanian melainkan untuk jalan lebuh Lintas Jawa Selatan.

 

Rencana Tol DIY- Jateng
Gubernur DIY telah meneken keputusan penetapan lokasi pembangunan jalan tol Yogyakarta-Solo di D.I. Yogyakarta pada 10 Juli 2020 yang lalu. Surat keputusan bernomor 206/KEP/2020 itu rencananya akan digunakan sebagai izin untuk tiga hal: pengadaan tanah, perubahan dan peralihan hak atas tanah.

 

Diperkirakan, jalan bebas hambatan ini merenggut tanah seluas ± 1.774.352 m2, membentang dari timur ke barat, dari Desa Bokoharjo sampai Desa Tirtoadi, Kabupaten Sleman. Sekitar 14 desa di 6 kecamatan kena imbasnya. Pemerintah acap beralibi, tol dibangun untuk kepentingan umum. Tol Yogyakarta-Solo sebenarnya hanya satu etape saja dari empat rute tol yang hendak didirikan di wilayah DIY. Cetak biru perencanaannya bahkan sudah dirancang jauh-jauh hari oleh pemerintah dalam bentuk regulasi.

 

Terbilang paling tidak sejak 2010, pemerintah daerah menyiapkan skema arahan pengembangan jalan bebas hambatan yang melingkupi Yogyakarta-Bawen, Yogyakarta-Solo dan Yogyakarta-Cilacap. Kemudian, pada 2018, Presiden Joko Widodo mengukuhkan sebagian agenda pembangunan tol di wilayah DIY, dengan memberikan lampu hijau rencana pendirian jalan tol Yogyakarta-Solo (40,5 km) dan jalan tol Yogyakarta-Bawen (71 km).

 

Belum lama ini, Pemerintah Provinsi DIY malah merilis jalur baru yang sebelumnya tidak pernah ada, yakni Yogyakarta-Kulon Progo. Jalan tol ini dibuat untuk mengakomodasi dibangunnya bandara baru di Kulon Progo untuk menggantikan bandara Adi Sucipto di tengah Kota Yogyakarta. Pelajaran yang dapat diambil dari Kebijakan seperti penjelasan di awal tulisan, kehilangan potensi panen pangan yang berkelanjutan pasca adanya tol terjadi hingga kini dan jika tidak diantisipasi akan mengancam DIY.

 

Padahal Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur yang membanggakan jalan tol barunya, diakui Food and Agriculture Organization (FAO), sebuah organisasi pangan dibawah PBB sebagai gudang beras Indonesia. Memang terjadi pencetakan lahan sawah baru dan peningkatan produktivitas lahan per hektar, tapi itu tidak sebanding dengan potential lost yang terjadi.

 

Ini menjelaskan dan sekaligus juga menguatkan dalil perlunya impor beras yang setiap kali terus menjadi polemik. Hal itu juga menghadapkan Tujuh Strategi Kebijakan Pertanian (Kementan 2017) kemungkinan mubazir jika abai terhadap ancaman eksternal seperti dibahas di atas. Padahal hitungan soal konsumsi jamak dipakai dalam perhitungan angka kemiskinan, akan tetapi di lain sisi lahan pangan malah semakin tergerus.

 

Ke depan seharusnya cetak lahan pertanian baru hendaknya berada di luar Jawa karena Jawa sudah padat dengan banyaknya program pembangunan, zero alih fungsi lahan pertanian dan rekayasa tekhnologi seperti hidroponik dilembagakan kalau tidak bisa dengan kultur jaringan. Yogyakarta dan provinsi lain semoga bisa belajar dari pengalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur.

 

Pernyataan Sri Sultan HB X yang semula menolak dibangunnya jalan tol di wilayah DIY, yang kemudian mengijinkan asal tidak menggerus lahan produktif, semoga dilaksanakan di lapangan dengan kesetiaan keberpihakan kepada kearifan lingkungan yang konkret dengan tetap memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).*

 

*) Pemudik Setia; Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Madiun (UMMAD)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *