MADIUN – Mahasiswa semester I Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Madiun (UMMAD) melaksanakan kuliah lapangan mata kuliah Antropologi pada Kamis, 14 Desember 2023. Kuliah lapangan mahasiswa semester I Prodi Ilkom FISIP UMMAD ini dilakukan dengan mengunjungi dua tempat sekaligus yaitu Sanggar Omah Bantarangin, Ponorogo, Jawa Timur yang dimiliki oleh Wisnu HP, budayawan yang punya kiprah nasional maupun internasional sekaligus owner Sanggar Seni Sabuk Janur.
Dan satu tempat lainnya petilasan Mbah Sentono di Desa Sumoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Dosen pengampu mata kuliah Pengantar Ilmu Antropologi, Rakhma Widya Darojah, S.Sos., M.I. Kom. menerangkan, pelaksanaan kuliah lapangan ini bertujuan mengajak mahasiswa mempelajari ilmu Antropologi terkait dengan manusia, sistem religi dan budaya.
Secara khusus mahasiswa dipahamkan mengenai sistem religi dan kepercayaan masyarakat jaman dulu merupakan bagian dari peradaban teknologi manusia pada masanya.
“Sehingga ketika kita mempelajari hal hal yang sekarang disebut mistis seperti punden, sajen itu sebenarnya teknologi sistem religi dan kepercayaan yang dihasilkan manusia pada masa dulu,” terang Rakhma Widya.
Itulah, menurut Rakhma Widya, bagian dari sejarah budaya masyarakat Indonesia sehingga hal tersebut tidak bisa disepakati sebagai hal mistis tetapi sebagai bagian dari budaya.
Bahwa memang teknologi peradaban sistem religi dan kepercayaan masyarakat jaman dulu seperti itu. Keberadaan punden ataupun petilasan, sajen, sendang adalah media bagi mereka berkomunikasi kepada Sang Hyang Widhi.
Hasil yang ingin disepakati bersama antara dosen dan pihak nara sumber itu mengajak mahasiswa untuk membumikan bidaya jaman dulu yang ada di masyaraka, jangan sampai hal hal terkait komunikasi transendental komunikasi dengan Sang Yang Widhi jaman dulu itu jadi tersingkir.
“Membumikan budaya jaman dulu yang ada di masyarakat agar jangan sampai hal hal terkait komunikasi transendental jaman dulu tersingkir. Itu yang harus dipahamkan kepada mahassiwa,” kata Rakhma Widya.
Saat mengunjungi petilasan Mbah Sentono di Desa Sumoroto, mahasiswa dapat mengetahui petilasan berbentuk semacam piramida dari tumbukan batu yang berada didekat sebuah pohon besar yang berusia ribuan tahun dan sejumlah pohon yang lebih kecil.
Keberadan petilasan Mbah Sentono itu dijadikan sebagai tempat bersih desa walaupun saat ini mulai ditinggalkan.
Menurut Rakhma Widya, sebagai masyarakat budaya, hal hal seperti itu jangan ditinggalkan, dalam arti bukan ditinggalkan masalah kita harus tetap memberi sajen tidak seperti itu tapi bagaimana memandang itu bagian dari sejarah sistem religi dan kepercayaan masyarakat.
“Seperti reog bagian dari budaya sebagai representasi satir penguasa jaman duku dalam melakukan kritik politik jaman dulu kalaupu nada sesajen itu bagian dari budaya masa itu,” terang Rakhma Widya. (*)